Budak Facebook Pro
Picture by Meta AI |
Dalam waktu kurang lebih satu tahun terakhir, dunia maya di Indonesia sedang diramaikan dengan fenomena “Salam Interaksi”. Ya, fenomena ini terjadi di platform sosial media Facebook. Banyak pengguna Facebook yang saat ini menjadikan sosial media tersebut sebagai “ladang” untuk mendapatkan penghasilan atau uang. Sistem tersebut disebut sebagai Facebook Pro. Para pengguna sekarang bisa mendapatkan uang dengan membuat konten dengan syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh Meta, selaku induk perusahaan Facebook, Instagram, dan Whatsapp.
Namun,
fenomena ini menjadi cringe akibat banyaknya user Facebook yang membuat
konten asal-asalan, tidak bermutu, dan terkesan “nyampah”. Maksudnya, konten
yang dihasilkan tidak memiliki nilai informasi yang bisa dibagikan dan terkesan
dipaksakan sehingga beberapa orang menganggap mereka membuat konten hanya
sekedar agar mendapatkan uang. Apalagi fitur “donasi” Bintang yang saat ini
mereka andalkan, di mana para pengguna Facebook bisa memberikan donasi berupa
uang dalam bentuk Bintang atau bentuk-bentuk yang lain.
Fenomena ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran di
kalangan pengguna biasa, tetapi juga di antara para kreator konten yang serius.
Banyak dari mereka merasa bahwa konten berkualitas justru tenggelam di antara
banjirnya konten-konten yang dibuat asal-asalan. Hal ini tidak hanya merugikan
kreator yang berusaha menghasilkan karya bermutu, tetapi juga mengurangi
pengalaman pengguna yang mencari informasi atau hiburan yang bermanfaat di
platform tersebut.
Selain itu, fenomena “Salam Interaksi” juga memunculkan
pertanyaan tentang etika dalam bermedia sosial. Beberapa pengguna terlihat
memanipulasi emosi atau memancing simpati dengan cara yang tidak wajar hanya
untuk mendapatkan donasi. Misalnya, ada yang membuat konten dengan AI secara
berlebihan. Hal ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakpercayaan di
antara pengguna lain.
Meta, sebagai pemilik platform, sebenarnya telah
menetapkan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengguna yang ingin
memonetisasi konten mereka. Namun, tampaknya aturan tersebut belum cukup ketat
untuk menyaring konten-konten yang tidak bermutu. Oleh karena itu, diperlukan
langkah lebih tegas dari Meta untuk memastikan bahwa hanya konten yang
benar-benar berkualitas dan memenuhi standar yang bisa mendapatkan monetisasi.
Di sisi lain, pengguna juga perlu lebih bijak dalam
menyikapi fenomena ini. Mereka harus lebih selektif dalam memberikan donasi
atau dukungan finansial, memastikan bahwa uang yang mereka berikan benar-benar
digunakan untuk mendukung konten yang bermanfaat dan kreatif. Dengan demikian,
Facebook bisa kembali menjadi platform yang menyajikan konten informatif,
menghibur, dan inspiratif, bukan sekadar tempat untuk mencari keuntungan
finansial secara instan.
Get notifications from this blog