Perselingkuhan Dalam Perspektif Psikologi - Didiet X-Fuera

Perselingkuhan Dalam Perspektif Psikologi


Perselingkuhan merupakan salah satu fenomena yang telah banyak dibahas dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi. Dari sudut pandang psikologi, perselingkuhan tidak hanya dilihat sebagai perilaku moral atau sosial yang melanggar norma, tetapi juga sebagai cerminan rumitnya relasi interpersonal, dinamika emosi, serta pengaruh individu dan lingkungan.

Dari perspektif psikologis, salah satu alasan utama perselingkuhan adalah ketidakpuasan emosional. Ketika kebutuhan emosional seseorang tidak terpenuhi dalam hubungan, seperti kebutuhan akan perhatian, penghargaan, atau kasih sayang, mereka mungkin mulai mencari pemenuhan di luar hubungan utama. Ketidakpuasan ini sering kali terjadi tanpa disadari oleh pasangan, hingga pada akhirnya muncul keterlibatan dengan pihak ketiga sebagai jalan keluar dari perasaan terabaikan.

Hal ini selaras dengan Teori Hierarki Kebutuhan yang dikemukakan oleh Abraham Maslow. Menurut psikologi humanistik, manusia memiliki kebutuhan dasar, termasuk kebutuhan akan cinta, rasa memiliki, dan penghargaan. Dalam konteks hubungan romantis, apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, seseorang mungkin merasa tidak puas dan akhirnya mencari pemenuhan emosional dari orang lain. Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi dapat menciptakan celah dalam hubungan, di mana perselingkuhan bisa dianggap sebagai "solusi" bagi individu untuk mendapatkan kembali perasaan dicintai, dihargai, atau diakui.

Teori ini menekankan pentingnya kepuasan emosional dalam hubungan. Ketika pasangan tidak mampu memenuhi kebutuhan emosional satu sama lain, individu cenderung mencari pemenuhan tersebut di luar hubungan yang ada, yang bisa memicu perselingkuhan.

Faktor lain yang dapat memicu perselingkuhan adalah adanya ketidakseimbangan dalam hubungan kekuasaan. Seseorang mungkin merasa tidak dihargai, diabaikan, atau bahkan tertekan dalam hubungan, yang membuat mereka lebih rentan terhadap godaan untuk mencari validasi di luar. Dalam beberapa kasus, perselingkuhan juga dapat dipicu oleh masalah kepribadian, seperti kebutuhan akan perhatian yang berlebihan, impulsivitas, atau kurangnya empati.

Dalam teori psikologi kepribadian, beberapa karakteristik dapat meningkatkan kecenderungan seseorang untuk berselingkuh. Misalnya, individu dengan sifat narsistik cenderung memiliki kebutuhan yang tinggi akan perhatian dan penghargaan dari banyak orang. Mereka mungkin berselingkuh karena merasa berhak untuk mendapatkan perhatian lebih dari yang diberikan oleh satu pasangan saja.

Teori kepribadian juga menjelaskan bahwa rendahnya conscientiousness (sifat berhati-hati dan teliti), serta tingginya extraversion (kebutuhan akan stimulasi sosial), bisa menjadi penyebab perselingkuhan. Orang yang impulsif atau memiliki kontrol diri yang rendah mungkin lebih rentan tergoda untuk terlibat dalam perilaku perselingkuhan, terutama dalam situasi yang menantang atau menggoda.

Dari perspektif psikologi, perselingkuhan tidak dapat dijelaskan hanya dari satu sudut pandang saja. Faktor-faktor seperti kebutuhan emosional, gaya keterikatan, karakteristik kepribadian, hingga pengaruh lingkungan sosial semuanya memainkan peran dalam membentuk perilaku perselingkuhan. Pemahaman mendalam tentang motivasi psikologis di balik perselingkuhan dapat membantu individu dan pasangan untuk lebih memahami akar permasalahan dalam hubungan mereka dan bekerja sama dalam membangun ikatan yang lebih sehat dan memuaskan.


Get notifications from this blog